Badai yang reda
BADAI YANG REDA
Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung yang sedang bermigrasi Angin pantai yang berhembus kencang membuat mereka terbang lebih jauh dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin seperti layang-layang. Walau beberapa orang ku kenal mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat bebas, tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya. Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit pangandaran yang cerah ini.
Aku sendiri sedang duduk di depan kios Awak Imas yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga karena pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang ku hirup. Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios. pasalnya, Awak Imas akan menyuruhku untuk melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.
ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat bapak dan tiga orang lainnya berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi malam, dan baru kembali tadi subuh. kenapa sekarang mereka siap-siap ingin berlayar lagi? Hey ... itu pemikiran bodoh! satu-satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.
Comments
Post a Comment